Equity World | Duh! Bursa Asia Memble Lagi Nih, IHSG Ikutan Nggak Ya?
Equity World | Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka melemah tipis pada perdagangan Jumat (5/5/2023), menyusul bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street kemarin, karena investor khawatir dengan krisis perbankan di AS yang muncul kembali.
Indeks Shanghai Composite China dibuka turun tipis 0,01%, Straits Times Singapura terkoreksi tipis 0,05%, ASX 200 Australia terpangkas tipis 0,03%, dan KOSPI Korea Selatan melemah tipis 0,02%.
Hanya indeks Hang Seng Hong Kong yang dibuka di zona hijau pada hari ini, yakni menguat 0,48%.
Sementara untuk pasar saham Jepang pada hari ini masih belum dibuka karena sedang libur dalam rangka Golden Week.
Dari Australia, bank sentral (Reserve Bank of Australia/RBA) akan memberikan statement-nya terkait kebijakan moneter berikutnya, yang akan merinci pertimbangan RBA ketika secara tak terduga menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bp) menjadi 3,85%.
Sementara itu dari China, data aktivitas jasa yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI) periode April 2023 versi Caixin juga akan dirilis pada hari ini. Data tersebut akan dirilis setelah PMI manufaktur Caixin jatuh ke wilayah kontraksi kemarin.
Pergerakan bursa Asia-Pasifik pada awal perdagangan hari ini cenderung mengikuti pergerakan Wall Street kemarin, yang kembali melemah karena investor khawatir dengan semakin meluasnya krisis perbankan di AS.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup merosot 0,86%, S&P 500 melemah 0,72%, dan Nasdaq Composite terkoreksi 0,49%.
Investor khawatir dengan krisis perbankan di AS yang memasuki babak baru. Hal ini terjadi setelah bank regional yang berdomisili di California yakni PacWest untuk mengeksplorasi opsi strategis, termasuk berencana untuk menjual seluruh asetnya.
Saham PacWest Bancorp anjlok hingga 51%, setelah mengonfirmasi sedang menjajaki opsi strategis. Alhasil, saham perbankan di AS kembali terpukul karena kekhawatiran investor akan memburuknya krisis perbankan.
"Bank-bank regional dan pengetatan kondisi kredit membebani pasar karena investor mencoba mengkalibrasi ulang di mana kita berada dalam hal siklus kredit dan standar pinjaman bank, dan ketika potensi resesi mungkin melanda," kata Zhe Shen, direktur pelaksana strategi diversifikasi di Manajemen Investasi TIFF, dikutip dari Reuters.
Di lain sisi, investor juga masih cenderung kecewa dengan pernyataan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang belum akan segera melunak dengan memangkas suku bunga.
Sebelumnya pada Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp), sesuai dengan ekspektasi pasar.
Dengan ini, maka The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak sepuluh kali dan dilakukan secara beruntun sejak Maret tahun lalu demi menjinakkan inflasi yang sudah melambung cukup tinggi.
Bahkan, suku bunga The Fed saat ini menjadi yang tertinggi sejak 2006 atau 12 tahun terakhir.
The Fed mengatakan bahwa masih terlalu dini menganggap siklus kenaikan suku bunga telah berakhir, sehingga dalam waktu dekat mereka tidak akan memangkas suku bunga acuannya. Tetapi, Chairman The Fed, Jerome Powell mengisyaratkan akan mengakhiri kenaikan suku bunga.
"Kami di komite berpandangan bahwa inflasi tidak akan turun secepat itu. Ini akan memakan waktu, jika ramalan itu benar. Tetapi dalam waktu dekat kami tidak akan memangkas suku bunga," ujar Powell.
Di lain sisi, data tenaga kerja menunjukkan ada tanda-tanda memburuk, di mana Klaim pengangguran mencapai 242.000 untuk pekan yang berakhir 29 April, lebih tinggi dari perkiraan 236.000 dari Dow Jones.
Produktivitas pekerja pada kuartal pertama 2023 juga turun 2,7% terhadap perkiraan penurunan 1,9%. Sedangkan biaya tenaga kerja per unit meningkat 6,3% di kuartal I-2023, lebih tinggi dari ekspektasi 5,5%.