Equity World | Sempat Melesat 2% di Awal Perdagangan, Wall Street Ditutup Melesat 1%
Equity World | Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street kembali ditutup cerah pada perdagangan Selasa kemarin, melanjutkan reli yang sudah terbentuk sejak Senin lalu.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 1,12% ke posisi 30.523,8, S&P 500 melonjak 1,16% ke 3.720,5, dan Nasdaq Composite menguat 0,9% menjadi 10.772,4.
Penguatan Wall Street sedikit terpangkas, setelah pada awal perdagangan kemarin sempat melesat lebih dari 2%. Wall Street cenderung berombak pada Selasa kemarin, karena banyak investor tampaknya kurang percaya diri.
Sebelum berhasil rebound, kekhawatiran resesi dan sikap hawkish bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) telah mendorong pasar saham AS ke posisi terendah pada tahun ini dalam beberapa pekan terakhir.
Tetapi, titik awal yang solid untuk musim pendapatan mungkin menandakan bahwa ekonomi saat ini dalam kondisi yang lebih baik daripada yang ditakuti oleh pasar.
"Rilis kinerja keuangan kuartal III dan kuartal IV seharusnya mengkonfirmasi fundamental tetap berlabuh di pasar tenaga kerja yang tangguh dan pembukaan kembali Covid. Valuasi ekuitas kemungkinan akan tetap terkait dengan retorika dan suku bunga bank sentral global, yang secara bertahap berubah menjadi kurang negatif," kata Dubravko Lakos-Bujas, kepala riset makro global di JPMorgan, dikutip dari CNBC International.
"Dengan demikian, kami melihat ekuitas siap untuk naik hingga akhir tahun saat pasar memprediksi perusahaan akan lebih tangguh di semester kedua tahun ini, posisi ekuitas yang rendah, sentimen yang sangat negatif dan diberikan penilaian yang lebih masuk akal," tambahnya.
Meski cenderung terpangkas, tetapi reli Wall Street berlanjut di perdagangan hari kedua pada pekan ini, di mana hal ini masih ditopang oleh kinerja keuangan beberapa emiten AS yang solid pada kuartal III-2022.
Setelah pada Senin lalu Bank of America dan Bank of New York Mellon merilis kinerja keuangannya yang solid pada kuartal III-2022, kini giliran emiten farmasi Johnson & Johnson (J&J) dan perusahaan bank investasi Goldman Sachs.
Saham J&J yang sempat melesat lebih dari 1% di awal perdagangan, ditutup melemah 0,35%, setelah perusahaan mempersempit proyeksi setahun penuhnya. Saham J&J sempat melesat setelah melampaui perkiraan untuk kuartal III-2022.
Laba per saham (EPS) J&J mencapai US$ 2,55 pada kuartal III-2022, lebih tinggi dari ekspektasi pasar sekitar US$ 2,47.
Penjualan J&J juga tumbuh 1,9% menjadi US$ 23,791 miliar pada kuartal III-2022, dari sebelumnya pada periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 23,338 miliar. Laba bersih J&J juga meningkat 21,6% menjadi US$ 4,458 miliar, dari sebelumnya sebesar US$ 3,667 miliar.
Sedangkan saham Goldman Sachs ditutup melonjak lebih dari 3%, setelah rilis kinerja keuangan kuartal III-2022 melebihi ekspektasi pasar. Bank investasi tersebut menunjuk perdagangan yang lebih baik dari perkiraan sebagai pendorong kinerjanya di kuartal III-2022.
EPS Goldman Sachs mencapai US$ 8,25 pada kuartal III-2022, lebih tinggi dari perkiraan pasar sebesar US$ 7,69, berdasarkan data dari Refinitiv. Sedangkan pendapatan Goldman mencapai US$ 11,98 miliar, juga lebih tinggi dari perkiraan sebesar US$ 11,41 miliar.
Namun, saham teknologi Apple turun dan sempat berubah negatif setelah laporan dari The Information bahwa raksasa teknologi itu memangkas produksi iPhone 14 Plus barunya.
Langkah Apple membawa rata-rata utama kembali mendekati posisi terendah hari ini, meskipun sejak itu mereka telah memulihkan sebagian dari penurunan itu.
Selain karena investor cenderung kurang percaya diri, naiknya kembali imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) turut membuat Wall Street cenderung bergelombang.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun cenderung naik menjadi 4,454%.
Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun juga cenderung naik menjadi 4,054% pada akhir perdagangan hari ini
Investor masih mengawasi dengan ketat perilisan kinerja keuangan emiten di AS untuk menilai dampak dari inflasi yang masih meninggi dan kenaikan suku bunga The Fed.