Equityworld Futures | Covid-19 & Harga Minyak Melambung, Harap Waspada Bung!
Equityworld Futures | Bursa saham AS (Wall Street) Libur pada hari Senin waktu setempat merayakan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat (AS). Praktis, pergerakan bursa saham Asia termasuk IHSG "tanpa arahan" dari kiblat bursa saham dunia tersebut.
Tetapi bukan berarti tanpa pengaruh eksternal. Harga minyak mentah yang melambung kini menjadi perhatian pelaku pasar.
Melansir data Refinitiv, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) naik 1,6% ke US$ 76,36/barel yang merupakan level tertinggi sejak Oktober 2018. Bahkan, jika WTI naik US$ 1 per barel lagi, maka akan mencapai level tertinggi sejak November 2014. Sepanjang tahun ini, harga minyak WTI sudah meroket lebih dari 57%.
Sementara minyak jenis brent sepanjang tahun ini sudah melesat nyaris 49%, termasuk 1,3% pada perdagangan Senin ke US$ 77,16/barel. Sama dengan WTI, harga minyak Brent saat ini berada di level tertinggi sejak Oktober 2018.
Terus menanjaknya harga minyak mentah belakangan terjadi akibat OPEC+ gagal mencapai kesepakatan untuk menambah produksi sebesar 2 juta barel per hari mulai bulan Agustus hingga Desember nanti.
Kegagalan tersebut terjadi akibat Uni Emirat Arab (UEA) berseteru dengan Arab Saudi terkait dengan kuota minyak mentah untuk tahun 2022.
Perundingan yang dilakukan sejak pekan lalu gagal mencapai kata sepakat, begitu juga kemarin yang malah "bubar". Beberapa negara yang tergabung dalam OPEC+ dikabarkan meninggalkan pertemuan tersebut.
UEA sebenarnya menyepakati proposal penambahan produksi sebesar 2 juta barel per hari dimulai bulan Agustus hingga Desember. Tetapi yang ditolak adalah perpanjangan pembatasan kuota produksi yang seharusnya berakhir di April 2022, menjadi Desember 2022.
Tingginya harga minyak mentah tersebut memberikan dampak positif dan negatif bagi Indonesia. Positifnya, kenaikan harga WTI dan Brent tentunya juga mengerek Indonesian Crude Price (ICP) yang berdampak pada penerimaan negara.
Penerimaan negara dari sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) hingga Mei 2021 tercatat mencapai US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 78,2 triliun.
Penerimaan negara ini mencapai 76,2% dari target setahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 yang dipatok sebesar US$ 7,28 miliar.
Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Taslim Yunus mengatakan, besarnya penerimaan negara dari sektor hulu migas hingga Mei 2021 ini tak terlepas dari lonjakan harga minyak mentah dunia.
"Kita bersyukur karena harga minyak saat ini semakin meningkat, saat ini sekitar US$ 73 per barel, dan Indonesian Crude Price (ICP) sekitar US$ 68 per barel," tuturnya dalam keterangan resmi SKK Migas, Rabu (16/06/2021).
Sementara itu dampak negatifnya datang dari sisi perdagangan, sebab Indonesia masih menjadi net importir minyak mentah. Sehingga devisa akan semakin tergerus untuk membiayai impor minyak mentah saat harganya terus menanjak.
Tetapi bukan itu kekhawatiran utamanya, melainkan secara global. Negara-negara diberbagai benua, baik itu negara berkembang maupun negara maju sedang berjuang memulihkan perekonomian yang merosot akibat pandemi Covid-19.
Ketika harga minyak terus meningkat, maka berisiko memicu inflasi yang tinggi. Saat daya beli masyarakat masih belum pulih, inflasi tinggi adalah kabar buruk. Daya beli masyarakat akan menurun, yang tentunya berdampak pada pemulihan ekonomi global.
Ketika perekonomian global terpukul lagi, maka Indonesia juga ikut terseret. Apalagi inflasi di Amerika Serikat (AS) sudah sangat tinggi.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (25/6/2021) melaporkan inflasi inti berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) di bulan Mei tumbuh 3,4% year-on-year (YoY). Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 1992.
Untuk saat ini, bank sentral AS (The Fed) tingginya inflasi tersebut hanya sementara. Tetapi, jika terjadi terus menerus dan berkepanjangan, bukan tidak mungkin The Fed akan mempercepat tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE). Bayang-bayang taper tantrum akan kembali muncul.
Sehingga kenaikan harga minyak mentah bisa jadi direspon negatif oleh pasar finansial.