Equity World | Bursa Asia Dibuka Cerah Lagi, Tapi Kok Hang Seng Loyo?
Equity World | Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka menghijau pada perdagangan Selasa (4/4/2023), di mana investor menimbang dampak dari pemangkasan produksi minyak dunia dan naiknya harga minyak mentah dunia.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang menguat 0,26%, Straits Times Singapura bertambah 0,51%, ASX 200 Australia naik tipis 0,09%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,4%.
Sedangkan untuk indeks Hang Seng Hong Kong melemah 0,62% dan Shanghai Composite China turun tipis 0,08%.
Dari Australia, bank sentral (Reserve Bank of Australia/RBA) akan mengumumkan kebijakan suku bunga terbarunya pada hari ini, di mana pasar memperkirakan RBA akan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bp), berdasarkan survei dari Reuters.
Sebelumnya pada pertemuan Maret lalu, RBA menaikkan suku bunga sebesar seperempat poin menjadi 3,6%, mengulangi tujuannya untuk mengembalikan inflasi ekonomi kembali ke kisaran target 2% hingga 3%.
Analis Commonwealth Bank of Australia, Gareth Aird mengharapkan RBA dapat menghentikan kenaikan suku bunga untuk sementara.
"Dalam apa yang kami yakini sebagai panggilan yang sangat dekat, kami memperkirakan RBA akan membiarkan suku bunga ditahan di 3,6%. Kami menganggap peluang 55% untuk tidak ada perubahan dan probabilitas 45% untuk kenaikan suku bunga 25 bp menjadi 3,85% (kami menganggap risiko pergerakan lain tidak penting)," kata Aird dalam catatan Senin kemarin.
"Ekonomi Australia terkini menunjukkan tanda-tanda pelambatan dan kami berharap Dewan RBA akan menilai bahwa jeda dalam siklus pengetatan adalah langkah yang tepat pada pertemuan April," tambah CBA.
Bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas menguat terjadi di tengah menguatnya sebagian besar indeks utama di bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Senin kemarin, meskipun dibayangi inflasi yang lebih tinggi akibat penurunan produksi minyak oleh OPEC+
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melesat 0,98% dan S&P 500 menguat 0,37%. Namun untuk indeks Nasdaq Composite berakhir melemah 0,27%.
Pasar digerakkan oleh berita dari OPEC+ yang memangkas produksi sebesar 1,16 juta barel per hari (bpd) akan dimulai Mei dan berlangsung hingga akhir 2023.
Pemangkasan terbanyak dilakukan Arab Saudi yakni 500 ribu bpd di Arab Saudi, pemotongan 211 ribu barel/hari oleh Irak, 144 ribu bpd oleh Uni Emirat Arab, dan 128 ribu bpd dari Kuwait.
Harga minyak mentah dunia pun melesat, merespons dari pemangkasan produksi minyak tersebut. West Texas Intermediate futures naik 6,28% menyentuh US$80,42 per barel, dan Brent berjangka naik 6,31% menjadi US$84,93 per barel.
"Prospek harga minyak yang lebih tinggi dapat menambah kegelisahan lebih lanjut ke Wall Street karena penurunan produksi terjadi," kata Stephen Ellis, ahli strategi energi di Morningstar.
Namun, penguatan di Wall Street mungkin berumur pendek mengingat faktor ekonomi makro yang lebih kuat, menurut analis pasar senior OANDA Ed Moya.
"Latar belakang makro saat ini tidak kondusif untuk reli pasar saham yang berarti: Perekonomian terikat resesi karena konsumen jelas melemah, pinjaman akan menjadi buruk, ketidakpastian biaya energi akan tetap tinggi untuk sementara waktu, dan kebijakan moneter akhirnya membatasi dan akan merusak bagian ekonomi," kata Moya.
Harga minyak yang menguat dapat menguntungkan emiten produsen minyak. Namun secara keseluruhan dapat memberikan efek negatif yakni kenaikan inflasi.
Inflasi yang menguat akan tetap membuat bank sentral bersikap agresif atau hawkish pada kebijakan suku bunganya dan akan berdampak negatif terhadap ekonomi.
Pasar yang sebelumnya mengharapkan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dapat melunak, dengan adanya kenaikan harga minyak, maka mereka kembali khawatir bahwa The Fed makin hawkish karena inflasi cenderung sulit turun.